(Opini) Dunia Binatang dalam Bahasa Politik Kita
By Admin
Oleh: Muh. Saifullah
"BAHASA menunjukkan sebuah bangsa”, demikian bunyi sebuah pepatah lama. Barangkali, pepatah ini tak bermaksud menyindir siapa-siapa. Yang ada, barangkali, bahwa sebuah pepatah, lahir karena punya kandungan kebenaran. Dalam sebuah kebudayaan, “petikan-petikan” kalimat berhikmah seperti ini bisa juga kita jadikan parameter untuk mendedah sampai sejauh mana tradisi melakukan transformasi terus-menerus untuk menjawab paradigma baru di ranah kebudayan tersebut. Dengan kata lain, ketika kita “membaca” sepenggal kalimat bernas seperti ini, sebenarnya kita diajak untuk bercermin di sana.
Dengan demikian, dalam proses “bercermin” inilah kita bisa menemukan demikian banyak keganjilan dalam prilaku poltik kebahasaan kita dalam menyikapi situasi politik dalam ranah kebangsaan ini. Salah satu contoh yang paling “aneh” dari pola wacana publik dalam melihat “lanskap” politik mutakhir Indonesia adalah dengan mensinonimkannya dengan binatang. Munculnya istilah “politik kambing hitam”, “dagang sapi politik”, atau yang pernah populer semisal “cicak versus buaya”, “ gurita dari Cikeas” "politik muka badak", "politik burung onta", menjadikan bahasa politik kita demikian riuh oleh berbagai jenis “binatang”.
Pertanyaan yang mengelitik dan terkesan “nakal” kerap muncul dibenak kita. Apa yang menjadikan wacana politik kita mengalami proses “binatangisme” dalam penamaannya? Bagaimana kita mencari format hubungan antara “binatang” dengan politik kita? Dan siapa paling bertanggungjawab terhadap label “binatangisme” ini ?
Barangkali, Dunia binatang (fabel) dalam tradisi wacana politik kita memang menyimpan sejenis makna yang telah lama menyusup jauh ke saluran “bawah sadar” kolektif kita. Bahwa, popularitas dunia binatang ini adalah cerminan paling mendasar bagaimana masyarakat (publik) manatap dan menginterpretasi prilaku para politisi kita (baca:pejabat publik) dalam mengelola negeri ini. Dalam kaitan itu, “dunia binatang” adalah semacam fenomena “kebahasaan” yang muncul dari sebuah perlawanan diam-diam untuk menegaskan “rasa muak” masyarakat terhadap model pengelolaan publik yang di amanatkan kepada para pejabatnya.
Dalam konteks seperti ini, munculnya fenomena “binatangisme” dalam pola wacana politik kita, mau-tak mau bisa memberi kita semacam “alarm dini” untuk bercermin dan mengukur sampai sejauh mana tingkat keterkaitan hubungan antara para politisi (pejabat publik) dengan masyarakatnya. Dengan kata lain, fenomena ini bisa jadi hanya “mendaur-ulang” format “perlawanan budaya” masyarakat terhadap hegemoni wacana politik yang coba di kukuhkan oleh penguasa. Barangkali kita masih ingat -atau masih terperangkap dalam balutan hegemoninya?- bagaimana rezim Orde Baru dulu melakukan rekayasa hegemoni kekuaasaanya lewat bahasa dengan memproduksi dan mereproduksi watak kebahasaan yang rigid serta berorientasi sentralistik dalam proyek “bahasa yang baik dan benar” itu. Birokratisme dalam politik kebahasaan kita kemudian sangat berwatak eufimistik. Kata-kata menjadi organ “tak bernyawa” lagi dan di pisahkan dari realitas keseharian kita. Eufimisme –dengan mereproduksi pemaknaan lewat “penghalusan” menjadi watak wacana politik kita yang paling hegemonik pada kurun waktu itu. Tapi pada sisi lain, kita juga terperangkap pada pola reproduksi bahasa politik yang sangat simplistik. Watak dikotomis yang direproduksi secara hegemonik menjadikan kita hanya mengenal “dunia” dalam balutan “kami” dan “mereka”. Dialektika tidak terjadi di sana, karena semua yang bercorak “mereka” adalah potensial menjadi “musuh” dan pantas diberangus. Dengan demikian, “oposisi” menjadi sebuah kata yang “cabul”.
Lalu, bagamaina kita bisa menarik “benang penghubung” dari tragedi kebahasaan dalam wacana hegemonik politik Orde Baru dengan “binatangisme” dalam wacana politik Orde Reformasi saat ini? Barangkali bahwa yang terjadi adalah sebuah reproduksi perlawanan publik terhadap kecenderungan bahasa politik yang diperagakan serta coba dibingkai oleh penguasa (baca:pemerintah) sebagai bagian strategis untuk “menaklukkan” dan “menguasai alam bawah sadar kolektif kita. Seperti kita amati bersama, tradisi “penaklukan” alam pikir kita melalui strategi politik bahasa telah dimulai kembali saat ini.Walaupun, barangkali dalam kiat dan strategi yang berbeda.
Namun di sinilah sesuatu menjadi demikian menarik, karena ternyata, masyarakat tidak dengan serta merta mampu “ditaklukkan”. Masyarakat, sekali lagi, bukanlah wadah kosong yang dengan seenaknya bisa diisi sekehendak hati. Secanggih apapun metode “penaklukan” tersebut, ia selalu saja berhadapan dengan sebentuk resistensi. Dan peerlawanan itu bisa muncul dalam berbagai bentuk. Walaupun mungkin hanya sekedar “gerakan mengelak” dari sebuah bentuk hegemoni yang dirasakan semakin memojokkan ruang “kebebasan” masyarakan.
Dulu, pada rezim ketika Orba sangat kuat membenamkan cakar kekuasaannya terhadap “hegemoni bahasa”, masyarakat, terutama di Yogya, dengan jitu dan cerdas memaklumkan “bahasa plesetan”. Kita tahu bahwa bahasa ini merupakan metode yang demikian ampuh “menertawai” sifat bahasa kekuasaan yang “baik dan benar” itu. Kita juga mungkin masih mengingat bagaimana “model” permainan logika yang “terpeleset-peleset” itu diperagakan oleh para actor lawak Srimulat sekaliber Asmuni dan Timbul almarhum.
Dalam konteks inilah,barangkali kita bisa menghampiri fenomena “binatangisme” dalam produk wacana politik kita. Bahwa munculnya sederetan istilah yang memakai nama binatang itu, adalah sebuah perlawanan (diam-diam ?) dari masyarakat ketika situasi politik dan prilaku pejabat kekuasaan di negeri ini terkesan “mendekati” perilaku binatang. Atau setidak-tidaknya, masyarakat mulai “mencium” gelagat “binatangisme” dalam setiap ucapan dan prilaku pejabat kita.
Tapi apapun itu, fenomena munculnya “kebun binatang” dalam wacana politik kita akhir-akhir ini mengisyarakat kalau masyarakat bukalah “bebek” yang demikian gampang digembalakan kesana-kemari sekehendak hati penguasa.* (penulis adalah pemerhati politik dan kebijakan)